Jumat, 04 Juli 2014

SEJARAH KAB. KEP. SELAYAR

        Pada masa lalu, Kabupaten Kepulauan Selayar pernah menjadi rute dagang menuju pusat rempah-rempah di Moluccan (Maluku). Di Pulau Selayar, para pedagang singgah untuk mengisi perbekalan sambil menunggu musim yang baik untuk berlayar. Dari aktivitas pelayaran ini pula muncul nama Selayar. Nama Selayar berasal dari katacedaya (bahasa Sanskerta)[7][8] yang berarti satu layar, karena konon banyak perahu satu layar yang singgah di pulau ini. Kata cedaya telah diabadikan namanya dalam Kitab Negarakertagama karangan Empu Prapanca pada abad 14. Ditulis bahwa pada pertengahan abad 14, ketika Majapahit dipimpin oleh Hayam Wuruk yang bergelar Rajasanegara, Selayar digolongkan dalam Nusantara, yaitu pulau-pulau lain di luar Jawa yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Ini berarti bahwa armada Gajah Mada atau Laksamana Nala pernah singgah di pulau ini.

      Selain nama Selayar, pulau ini dinamakan pula dengan nama Tana Doang yang berarti tanah tempat berdoa[4]. Di masa lalu, Pulau Selayar menjadi tempat berdoa bagi para pelaut yang hendak melanjutkan perjalanan baik ke barat maupun ke timur untuk keselamatan pelayaran mereka. Dalam kitab hukum pelayaran dan perdagangan Amanna Gappa (abad 17), Selayar disebut sebagai salah satu daerah tujuan niaga karena letaknya yang strategis sebagai tempat transit baik untuk pelayaran menuju ke timur dan ke barat. Disebutkan dalam naskah itu bahwa bagi orang yang berlayar dari Makassar ke Selayar, Malaka, dan Johor, sewanya 6 rial dari tiap seratus orang.
      Belanda mulai memerintah Selayar pada tahun 1739. Selayar ditetapkan sebagai sebuah keresidenan dimana residen pertamanya adalah W. Coutsier (menjabat dari 1739-1743). Berturut-turut kemudian Selayar diperintah oleh orang Belanda sebanyak 87 residen atau yang setara dengan residen seperti Asisten Resident, Gesagherbber, WD Resident, atau Controleur. Barulah Kepala pemerintahan ke 88 dijabat oleh orang Selayar, yakni Moehammad Oepoe Patta Boendoe. Saat itu telah masuk penjajahan Jepang sehingga jabatan residen telah berganti menjadi Guntjo Sodai, pada tahun 1942. Di zaman Kolonial Belanda, jabatan pemerintahan di bawah keresidenan adalah Reganschappen. Reganschappen saat itu adalah wilayah setingkat kecamatan yang dikepalai oleh pribumi bergelar "Opu". Dan kalau memang demikian, maka setidak-tidaknya ada sepuluh Reganschappen di Selayar kala itu, antara lain: Reganschappen Gantarang, Reganschappen Tanete, Reganschappen Buki, Reganschappen Laiyolo, Reganschappen Barang-Barang dan Reganschappen Bontobangun.
   Di bawah Regaschappen ada kepala pemerintahan dengan gelar Opu Lolo, Balegau dan Gallarang. Pada tanggal 29 November 1945 (19 Hari setelah Insiden Hotel Yamato di Surabaya) pukul 06.45 sekumpulan pemuda dari beberapa kelompok dengan jumlah sekitar 200 orang yang dipimpin oleh seorang pemuda bekas Heiho bernama Rauf Rahman memasuki kantor polisi kolonial (sekarang kantor PD. Berdikari). Para pemuda ini mengambil alih kekuasaan dari tangan Belanda yang di kemudian hari tanggal ini dijadikan tanggal Hari Jadi Kabupaten Kepulauan Selayar. Tahun Hari Jadi diambil dari tahun masuknya Agama Islam di Kabupaten Kepulauan Selayar yang dibawa oleh Datuk Ribandang, yang ditandai dengan masuk Islamnya Raja Gantarang, Pangali Patta Radja, yang kemudian bernama Sultan Alauddin, pemberian Datuk Ribandang. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1605, sehingga ditetapkan Hari Jadi Kabupaten Kepulauan Selayar adalah 29 November 1605.[9]


Galery Foto tentang Selayar Dahulu Kala Tempo Doeloe
by Selayar Online

Peta Selayar Tahun 1920

Bahuluang, Tambolongan, Polassi, Kayuadi, Polassi, Kalao (Lambego) ...

(Foto: KITLV Leiden)
AA Cense mengunjungi "ibu kota" Tanete. Kemungkinan besar adalah Parangia, Ibu Kota Desa Tanete, kini. (KITLV Leiden)
Lajalo (Laiyolo), kini Desa Laiyolo, Kec. Bontosikuyu. (KITLV Leiden)

Kampung Ra'ra, Tanete (sekarang masuk Desa Kayu Bauk, Kec. Bontomatene) diambil dari jalan penurunan dari arah Tonggek, Dusun Sapohatu sekarang. (KITLV Leiden)

AA Cense sedang berkeling Ra'ra pada tahun 1932. Foto diambil dari arah timur. (KITLV Leiden)

Mesjid Ra'ra diambil dari arah timur (KITLV Leiden)

Mesjid Ra'ra (sekarang di atas lokasi yang sama berdiri Mesjid Nurul Jannah) tahun 1932. Foto di ambil dari arah barat (KITLV Leiden).
Controleur Resident, kini Rumah Jabatan Bupati Selayar (Foto: KITLV Leiden)

Penampilan Tari Pakarena di Contoleur Resident (Foto: Collectie Tropenmuseum)

Putra Contoleur sedang bermain "lembara" di halaman (Foto: KITLV Leiden)
Peringatan 25 Tahun Penobatan Ratu Wilhelmina di alun-alun Kota Benteng (kini Lapangan Pemuda) pada 31 Agustus 1923. (KITLV Leiden)

Anak-anak pada peringatan penobatan Wilhelmina. Dari dulu, anak-anak sudah dijadikan "penggembira" dalam setiap perayaan. (KITLV Leiden)

Lapangan Pemuda Benteng, kini
Foto "bareng" di pinggir alun-alun kota (kini Lapangan Pemuda), 1923 Foto: KITLV Leiden)

Salah satu rumah masyarakat di Kota Benteng, 1911 (Foto: Museum Volkenkunde)

Jembatan Appabatu yang sekaligus merupakan gerbang Kota Benteng, 1911 (Foto: Museum Volkenkunde)




Gong Nekara dahulu kala

Kepala Daerah kala itu

Appa'batte jangan (Sabung ayam)

A Cense melakukan perjalanan keliling melalui bagian "tengah" Selayar ke Ra'ra / Tanette (Tanete)

orang tua kita dahulu

Ukiran pada makam dari "selatan Selayar" diambil pada bulan Juli 1932

"Akkontau", salah satu budaya selayar dahulu kala 

Gong Nekara dahulu kala

Pelaksanaan pemilu pertama di selayar

Orang tua dan anak2 dahulu kala



                                                     @NISHA040796

Tidak ada komentar:

Posting Komentar